Rabu, 14 Januari 2009

REFLEKSI: Guru Kualitas kedua, Mimpikah?

Pengalaman: Guru selama ini
Barbagai langkah telah ditempuh guna meningkatkan kualitas guru sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Indonesia. Mulai dari tingkat sekolah yang berupa komunikasi internal, In House Training, dan sebagainya, kemudian tingkat yang lebih luas lagi, pelaksanaan MGMP kecamatan maupun kabupaten, seminar, workshop, sampai pada tingkat nasional yang marak sekarang ini: sertifikasi guru, PLPG dan lain-lainya. Namun dari sekian langkah tersebut belum (bahasa halusnya dari “tidak”) mengubah mainset, paradigma, kinerja dari guru. Masih selalu ada di sebagian sekolah itu, guru menganut komitmen dua paling awal dari empat komitmen guru yaitu:
1. Personal Commitment
Pada tahap ini, guru bekerja hanya sekedar menggugurkan kewajiban, sewaktu ada jadwal mengajar, ya mengajar namun tidak peduli apakah yang disampaikan itu memiliki andil bagi kemajuan belajar siswa atau tidak.
2. Political Commitment
Guru sebagai korektor kebijakan. Diawal tahun pelajaran, biasanya seorang wakil kepala sekolah urusan kurikulum dipusingkan dengan pesanan jadwal. Saya minta jam saya jangan siang, saya jangan pagi, saya maunya ini, saya maunya…., kalau tidak saya tidak akan ngajar! Suatu kebijakan sekolah yang sesuai atau berpihak padanya akan dilakukan dengan baik (harapannya) namun sebaliknya, jika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya maka akan timbul rasa “aras-arasen”.
3. Emotional Commitment
Tahapan komitmen ini berkeyakinan bahwa apa yang saya lakukan itu dapat berguna bagi siswa. Menyadari bahwa jika saya melakukan begini maka siswa akan menjadi begitu.
4. Spiritual commitment
Keyakinan diri bahwa seorang guru itu sebagai sosok yang meneladankan, panggilan jiwa, dan merasa bersalah, merasa berdosa apabila yang dilakukan itu menjadikan peserta didik tidak/kurang berhasil dalam belajar dan kehidupannya.

Itu baru tentang komitmen. Bagaimana tentang pelaksanaan pembelajaran.
Berawal dari persiapan. Masih ada saja guru yang mengatakan: “Saya sudah ngajar 25 tahun lebih, jadi tidak perlu ada persiapan, persiapan sudah diluar kepala”. Berawal dari perkuliahan Persiapan Pembelajaran Matematika Program Serifikasi guru Jalur pendidikan di UNY, saya merasakan betapa penting dan perlunya sebuah persiapan. Layaknya sebuah sinetron film, tayangan yang hanya sekitar 1 jam, namun diawali dengan persiapan yang berminggu-minggu dan berulang-ulang.
Pada saat pelaksanaan pembelajaran. Budaya on time dan full time masih belum terimplementasikan benar. Masuk kelas masih molor, ditengah pembelajaran ditinggal untuk kepentingan yang tidak sepantasnya: ngobrol diruang guru, merokok atau baca koran dan masuk kembali setelah kira-kira waktu berjalan menuju ke kelas itu tepat bel berbunyi.
Tentang evaluasi. Banyaknya siswa yang dihadapi lebih disikapi leh guru dengan sekedar penilaian hasil, yang mengesampingkan penilaian proses. Sehingga nilai yang didapat siswa lebih pada penekanan nilai tes. Bahkan pengalaman yang lebih ekstrim lagi seorang siswa yang sudah keluar/ pindah tahun yang lalu ternyata masih diberi nilai. Ada lagi: Saya itu sudah berpengalaman mengajar bertahun-tahun, jadi masalah nilai itu cukup dilihat saja, saya sudah bisa menentukan.
Inilah sekedar pegalaman saya sebagai guru yang berpengharapan:
Bagaimana saya bisa menjadi teladan bagi siswa dikala bangun pagi sampai bangun pagi hari berikutnya. Bagaimana bisa membelajarkan siswa dengan hati. Bisa menyembuhkan masalah yang diderita siswa yang berkaitan dengan kegiatan belajarnya.

Tidak ada komentar: